|
|||||||
Adat Batak termasuk salah satu kekayaan budaya bangsa indonesia. Ritual pemakaman orang yang meninggal, disebut partuat ni natua-tua khususnya bagi yang meninggal yang sudah memiliki anak cucu hingga cicit yang disebut saur matua. Upacara pemakaman haruslah dilaksanakan secara adat lengkap dan menempuh waktu banyak.
Menurut Adat batak Dalihan Natolu ( DNT ) upacara ini terikat aturan adat istiadat yang disebut ruhut-ruhut adat partuat ni natua-tua, yang secara faktual mencakup aspek insani (adat budaya) dan aspek illahi (dogma injili) sehingga sampai saat ini, upacara adat batak DNT dapat disebut mencakup religi etnologis. Hal itu mengacu pada filasafat hidup suku batak yang sudah eksis sejak adanya bangso Batak. Demikian paparan Henri Panggabean, Ketua Umum kerukunan Masyarakat Batak (Kerabat) dihadapan 200 orang peserta seminar sehari Masyarakat Kristiani Batak di Semarang baru-baru ini. Seminar tersebut disponsori HKBP Resort Karta Negara, bertindak sebagai Ketua panitia St Ir Wesly TP Manurung, dibantu oleh Dj Simbolon dari ketua Parna, F saragih Simarmata,SH,M.Hum, Ir F Sitorus, St Drs GB Pakpahan dan Cst A Sihaloho. Sementara yang ikut menyampaikan makalah adalah Payaman Simanjuntak ketua umum Palito dengan topik Teknik Pelaksanaan Upacara Adat Pemakaman dan Drs K Purba,M.Hum dari Perguruan Tinggi Negeri Seni Yogyakarta dengan judul Teknik Upacara pemakaman Orang-orang tua batak. Dalam seminar itu disampaikan bahwa falsafah hidup bangso batak ada tiga sudah mengalami pergeseran nilai. Mungkin disebabkan kurang adanya pemahaman warga perantau bahwa upacara partuat ni natua-tua adalah upacara ritual adat batak DNT yang pola hakekatnya berkaitan dengan filosofi paradaton Bangso Batak. Dalam acara itu didahului berbagai persiapan yang harus diikuti utusan dari unsur DNT, memakan biaya tinggi untuk memberi penghormatan tertinggi kepada yang meninggal Saur Matua. Upacara ini terlaksana karena didasari kerinduan (pangkirimon) untuk memohon berkat Karunia dari Tuhan Maha Pengasih bagi keturunan daripada yang meninggal. Dalam acara seminar sehari itu, Henri Panggabean mencoba memaparkan adat Batak DNT apakah menyalahi Tri Ajaran Gereja, yaitu : Iman (Kekudusan), kasih (buah iman dalam bentuk sukacita sebagai saluran berkat) dan pengharapan (cita-cita) kebahagiaan insani. Sasaran pelaksanaan upacara pemakaman terutama ditujukan untuk penghormatan bagi orang tua yang meninggal, dimana penghormatan itu berkaitan dengan cita-cita kebahagiaan (sinta-sinta hatuaon) yang tertanam dalam diri setiap insani warga Batak DNT yaitu : hatuaon, dan las ni roha (mampu menjadi saluran berkat bagi sesamanya) Adapun cara proses pencapaian objektum sinta-sinta hatuaon setiap insan batak memiliki dan terkait pada pola pikir sikap bathin didalam pergaulan kekerabatan patrilineal yang diuraikan dalam tiga kriteria inti ajaran adat DNT yaitu : Pertama, saling menghargai (masipasangapan) didalam wujud manat mardongan tubu dan sasarannya hamoraon. Kedua, saling hormat (masihormatan) dalam wujud somba marhula-hula dengan sasaran hagabeon dan ketiga, saling menolong (masiurupan) dan wujudnya elek marboru untuk mencapai sasaran hasangapon. Dalam konsep hamoraan perlu diuraikan da dikaji untuk disesuaikan dengan doktrin gereja tentang kasih Agape. Dimana dalam konsep hamoraon terkait pada kaidah hukum moral dalam umpasa pantun hangoluan, tois hamagoan. Kaidah hukum moral itu menuntut kabijakan setiap insan Batak agar dengan cara itu sinta-sinta hatuaon dapat tercapai. Family Admosphere sebagai ikatan kekerabatan Batak DNT sangat dipengaruhi kaidah hukum moral tersebut, karena tanpa itu banyak terjadi kegagalan untuk tercapainya pengharapan (pangkirimon) dalam upacara partuat ni natua-tua. Ruhut-ruhut ajaran DNT tentang upacara pemakaman terbagi beberapa dalam upacara pemakaman, sesuai klasifikasi orang meninggal, yaitu : mate ponggol (patah) meninggal sebelum menikah, mate diparalangalangan (meninggal tanpa anak keturunan ), mate makar, meninggal dengan meninggalkan keturunan yang masih kecil-kecil dan untuk suami meninggal disebut matipul ulu, bagi istri meninggal disebut matompas tataring, mate hatungagnggnean, si meninggal belum ada anak cucu meski anak-anaknya telah ada yang menikah. Untuk klasifikasi empat istilah kematian diatas, ruhut-ruhut paradaton dilaksanakan sangat sederhana yang disebut partangiangan penghibur, dan sebelum diberangkatkan disemayamkan didalam rumah tinggal yang meninggal. Dalam klasifikasi mate sari matua, saur matua dan saur matua bulung, kehadiran DNT sudah tampak dalam acara yang memenuhi ruhut-ruhut adat batak. Hanya anak dari orang meninggal yang menjadi penentu acara baginya apakah sari matua dan sering dimusyawarahkan secara cermat, karena inilah yang menjadi sinta-sinta hatuaon yang dirindukan segenap insan batak, maka jenazah si meninggal telah dapat disemayamkan dihalaman rumah sebelum dibawa ke tempat terakhir (parsatongkinan). Untuk acara kemudian saur matua, si meninggal telah beranak cucu dan semua anak-anaknya telah menikah tidak ada lagi beban moril untuk pengentasan anaknya. Dan untuk acara kematian saur matua bulung, si meninggal telah memiliki keturunan, cicit dari anak laki-laki dan nono dari anak perempuan. Ukuran klasifikasi kematian yang dua ini merupakan puncak upacara penghormatan bagi orang tua DNT yang paling tinggi nilainya, karena proses persiapan pelaksanaan dan upacara penutupannya dihadiri semua unsur DNT dari berbagai penjuru daerah diikuti ruhut-ruhut paradaton yang sangat kompleks dan melelahkan. Nilai kultur budaya batak dapat dilihat dalam upacara pemakaman saur matua mauli bulung, karena pada setiap tahap upacara itu terlihat kemampuan raja-raja adat batak mengungkapkan nilai kepemimpinan si meninggal maupun nilai kultural yang dimiliki utusan adat DNT yang hadir pada upacara tersebut. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa bahasan nilai kultur budaya Batak berkisar dalam lima kriteria kepemimpinan raja batak, yaitu : pertutur, partamue, parpatik, paradat, dan perugamo. Dimana kelima kriteria kepemimpinan raja batak berpedoman pada sikap bathin insan batak : manat mardongan tubu, somba marhula-hula dan elek marboru. Sikap bathin itu telah teruji sepanjang masa dan dan menjadi pedoman hidup bermasyarakat tidak hanya berlaku di lingkungan marga-marga batak tetapi juga dalam pergaulan sehari-hari dengan warga lain yang bukan marga batak di mana saja. Injil dan Upacara Pemakaman Menurut HP Panggabean, untuk lebih memahami nilai peradaban adat batak dari sudut pandang injil, diajukan ulasan Richard Sinaga berdasarkan ajaran injil menyangkut upacara pemakaman, sebagai berikut : Abraham meratapi dan menangisi Sara istrinya yang mati, lalu dicari tanah pekuburan untuk istrinya, dengan membayar 400 syikal perak kepada bani Het. Mendapat tanah pekuburan di Makhpela sebagai miliknya. Lalu dikuburkan Sara istrinya di pekuburan miliknya itu (Kejadian 23:2-20). Kemudian Abraham meninggal dikuburkan oleh Ishak dan Ismail ditanah pekuburan yang dibeli Abraham tempat Sara berkubur (Kejadian 25:7-11). Ishak meninggal oleh Yakub dan Esau dikuburkan di pekuburan yang lebih Abraham di Makhpela (Kejadian 35 : 29). Rahel istri Yakub yang melahirkan Yusuf dan Benyamin dan dikuburkan disisi jalan ke Efrata yaitu Betlehem. Diatas kuburan Rahel, Yakub mendirikan tugu (Kejadian 35:19-20), Yakub menyuruh anaknya Yusuf bersumpah bila nanti Ia meninggal tidak akan dikuburkan di Mesir (Kejadian 47 : 29-31). Yakub berpesan kepada anak-anaknya, agar bila Dia meninggal hendaklah dikubur dipekuburan nenek moyangnya tempat pekuburan Abraham, Sara, Ishak, Ribka dan Lea, milik keluarga yang sudah dibeli Abraham dulu di Makhpela (Kejadian 49 : 23-33) Yakub pun meninggal lalu Yusuf meratapi dan menciumi mayat ayahnya. Kemudian Yusuf menyuruh tabib-tabib merempah-rempahi mayat ayahnya. Empat puluh hari lamanya untuk merempah-rempahi mayat Yakub, dan tujuh puluh hari lamanya orang Mesir menangis kematian Yakub. Setelah itu Yusuf meminta ijin dari Firaun untuk mengantarkan mayat Yakub untuk dikuburkan di Makhpela (Kejadian 50:1 -4 ). Yusuf menyampaikan harapannya, bila kelak dia mati dan bangsanya bisa keluar dari Mesir, tulang belulangnya hendaklah ikut di bawa (Kejadian 50:25). Yusuf meninggal di mesir lalu dirempah-rempahi dan dibaringkan dipeti mati (Kejadian 50:26 ). Musa membawa tulang belulang Yusuf dari Mesir ( 2 Musa atau Keluaran 13 : 19 ). Beberapa generasi kemudian tulang belulang Yusuf dikuburkan di Sikhem di tanah yang pernah di beli Yakub dari anak-anak Hemor (Yosua 24 : 32). Yesus mati di kayu salib,. Yusuf seorang murid Yesus meminta mayat Yesus untuk dikuburkan. Setelah di setujui Pilatus, maka Yusuf mengambil mayat itu lalu mengkafaninya dengan kain lengan putih bersih, kemudian dibaringkan di kubur yang sudah di galinya sendiri (Matius 27 : 57-61). Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome membeli rempah-rempah dan pergi kekuburan untuk meminyaki Yesus (Matius 16:1). Semua perlakuan kepada yang mati tersebut adalah budaya, hasil akal budi manusia. Bila cara tersebut dilakukan berulang-ulang dan menjadi kelaziman maka, itulah adat budaya. Cara seperti itu tidaklah dilakukan makhluk lain, hewan terhadap sesamanya yang mati, karena hewan tidak berakal budi dan bukan makhluk berbudaya. Berbuat sesuatu yang dianggap manusia sebagai yang
baik atau terhormat terhadap yang mati adalah sebagai adat budaya. Tetapi,
harus diingat, bahwa yang mati tidak dapat lagi berbuat sesuatu kepada
yang hidup. |
|